Selasa, 06 November 2012

Keunikan Dunia Pesantren


Keunikan Dunia Pesantren
By : Ust. Sholih Hasyim

Prolog

Barangkali masih segar dalam ingatan kita, Tafsir Bahasa Jawa “Al Ibriz” yang hingga kini menjadi rujukan utama kaum muslimin, utamanya komunitas pesantren di Pulau Jawa. Bahkan, hingga kini kitab tersebut di Semarang di bedah secara rutin, selama bertahun-tahun, dan berkali-kali naik cetak. Siapakah penyusun kitab tafsir tersebut ?. Beliau adalah KH. Bisyri Musthofa. Tokoh Internasional yang harum namanya, sekalipun ia telah meninggalkan kita hampir satu abad. Apakah rahasia keberhasilan beliau menjadi tokoh, dan kesuksesan beliau dalam mengantarkan putra-putrinya menjadi tokoh Nasional. Diantara putranya yang kita kenal adalah Gus Mus, KH. Kholil Bisyri (alm), dll.
Jika kita melihat silsilah beliau, sungguh beliau dilahirkan dari orang biasa. Bapaknya seorang kusir di Rembang. Sebelum menitipkan putranya “Bisyri kecil” kepada KH. Kholil, beliau mengatakan : Pak Kiyai,  Saya sadar tidak memiliki ilmu yang cukup dan mutu spiritual yang memadai, saya hanyalah seorang kusir. Saya hanya dapat  mencukupi kebutuhan pisik anak saya. Untuk urusan keilmuan dan spiritual, saya angkat tangan. Saya juga sadar, jika anak saya tidak terangkat derajatnya, tentu akan tergerus kebahagiaan saya.

Sebagaimana orang tua pada umumnya, izinkanlah saya bercita-cita besar mempunyai anak yang kelak mikul dhuwur mendhem jero  (mengangkat derajat orang tua dan mengubur dalam-dalam kelemahannya) di kemudian hari. KH. Kholil terharu dan menjawab, Barakallohu fikum wa ‘umrikum wa umurikum (semoga Allah SWT memberkahi umur  dan segala urusan penjenengan). Saya berjanji dihadapan Allah SWT, insya Allah separo hasil kerja saya akan saya tabung, dan di darmabaktikan  untuk kepentingan dan kemajuan pondok panjenengan.
Sejak itu KH. Kholil selalu ngopeni (merawat) titipan putra Bapak Musthofa. Ia berusaha mengasah struktur pisik dan ruhaninya dan mentalnya. Ia khawatir salah asah, asih dan asuh.Sehingga menjadi anak yang kurang ajar. Dan biasanya orang tuanya akan terkena getahnya. Anaknya siapa dia itu ?. Maka, ia serahkan cara mendidiknya kepada-Nya, dalam doa-doanya. Ia selalu berusaha menumbuhkan dalam dirinya prinsip-prinsip keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar ulumuddin dan ruhul jihad (spirit perjuangan), dan kultur pengabdian (khidmah). Ia  memandang santri Bisyri adalah bagian dari anak kandungnya. Ia tidak memperlakukannya berbeda dengan anaknya sendiri. Ia sering dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting di lingkungan pondok.
Demikian pula di lembaga pendidikan informal India apabila seorang guru menegur dengan menjewer muridnya dan kabur pulang, maka bapak ibunya bersikeras mengantarkan putranya untuk kembali ke lembaga pendidikan tersebut. Ia tidak memilih untuk memprotes gurunya. Ia tunjukkan hubungan yang akrab, dekat dan erat dengan guru anaknya. Terkadang, anak usia 10 tahun tidak shalat, boleh dipukul dengan pukulan yang mendidik. Ia menyadari pendidikan bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya tidak berjalan tanpa pendidikan.
Selain itu, di Singapura, kota yang paling maju di Asia ternyata sangat konsern dengan bidang pendidikan. Sekalipun ia seorang perdana mentri dan pejabat tinggi Negara, dan secara kebetulan antri di ATM bersama dengan seorang guru, maka ia mendahulukan guru. Dan public telah memaklumiknya. Ia sadar, sekiranya guru terlambat masuk sekolah, bagaimanakah nasib anak-anaknya. Mengejek guru bisa jadi meniru, benci kepadanya suatu ketika menjadi bersanding (Alok-alok guru kebarus melok, gething kebarus nyandhing).
Termasuk di kota Sakura, setelah kota Hirosima dan Nagasaki  dibom oleh tentara sekutu, pemimpin yang terpilih bertekat untuk menata kembali puing-puing sisa-siasa kehancuran negerinya dengan menggandeng para guru. Ia membangun harapan masa depan bangsa dengan tidak melepaskan tangan dingin guru. Sekarang, industri Jepang mengungguli Amerika Serikat. Dan cerita-cerita lain yang tidak bisa disebutkan disini satu persatu.

Pengaruh Kontak Batin Orang Tua Dan Guru

            Bercermin dari kisah diatas, betapa penting  mengambil ‘ibrah (rahasia), hikmah di balik keberhasilan santri tadi dalam meniti karir kehidupannya setelah dewasa. Dan betapa besar pengaruh pendidikan yang diserap dari pola transaksi spiritual  (mu’asyarah bil makruf) yang menyejukkan, yang pernah dibangun antara orang tuanya dan  gurunya serta pengasuh anak-anaknya. Tidak sekedar transaksi administratif, formal, yang kering dari makna kehidupan. Alangkah ironisnya, karena merasa bisa membayar mukafaah/bisyarah  kepada guru, kemudian bersikap tidak patut kepada pahlawan tanpa tanda jasa itu.

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ  . قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf [menolak dengan cara yang baik dan memaafkan perilaku yang kurang sopan dari penerima] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al Baqarah (2) : 262-263)

Hubungan kedua orang tua tersebut berpijak/bertumpu pada nilai-nilai adab islami yang saling memuliakan. Banyak kita temukan seorang santri yang cerdas di pondok, setelah lulus menjadi orang biasa. Kiprah yang diperankan di tengah-tengah masyarakat tidak menonjol. Sedangkan banyak pula santri yang belajarnya tidak teratur, bahkan sering remidi, dia hanya mengabdikan diri secara all out (mati-matian) mencarikan dana untuk kebutuhan pondok, patuh dan hormat kepada guru, setelah pulang ke kampungnya hidup di tengah-tengah masyarakat berhasil mendirikan pondok dan memiliki ilmu yang bermanfaat. Salah satu diantara rahasia keberkahan hidupnya adalah ikatan batin orang tua dengan para gurunya.
Bapak Musthofa berhasil menjadi wali murid yang luar biasa, wajar anak keturunannya menjadi generasi yang hebat keilmuan dan ketakwaannya. Wali murid yang berani berkurban, maka yang dilakukannya itu tidak sia-sia di hadapan Allah SWT. Karena, ia menanam dengan bibit yang unggul, maka menuai buah yang matang. bukan matang secara karbitan. Siapa yang menanam, pasti memanen, kata pepatah.

            Ali bin Abi Thalib mengatakan : Ana ‘abdun liman ‘allamani harfan (saya siap menjadi budak kepada orang yang mengajariku satu huruf).

            Khalifah Islam IV tadi  menyadari betapa pentingnya ilmu. Jika  tidak mengerti huruf, maka tidak mengerti kata, jika tidak mengerti kata, maka tidak mengerti kalimat. Jika ketiganya tidak dimengerti secara baik, berarti tidak mendapatkan ilmu sedikitpun. Padahal ilmu memiliki arti sesuatu yang jelas dan terang. Tanda kenabian Adam, Dawud, Yusuf, Haidhir, dan Nabi yang lain dengan ilmu.
Jika kehidupan ini tanpa disinari oleh ilmu, maka akan tetap dalam keadaan gelap. Penghuninya gelap mata dan gelap pikiran dan hatinya. Bukankah perilaku yang buruk berawal dari pikiran yang buruk pula. Karena tidak trampil memililah-milah, memetakan, mengurai masalah dan memutuskan. Orang bodoh biasanya menyelesaikan problem dengan adu otot, bukan adu otak. Orang bodoh suka mengamuk dan mengkambinghitamkan orang lain. Maka kehadiran orang bodoh bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.

            Al Kayyisu man daana nafsahu wa ‘amila lima ba’dal maut. (Orang yang cerdas senang intropeksi diri dan beramal untuk persiapan menuju kebahagiaan dan kelamatan untuk hari esok (al Hadits).

            Bahkan santri tadi selalu mendoakan dalam sujud terakhirnya untuk kebaikan bapak gurunya setelah meninggal. Menjalin silaturrahim dengan kawan-kawan bapak ibunya. Ia bisa membayangkan seandainya anak, istrinya gurunya pada sakit dan dalam waktu yang lama ‘udzur syar’i mengajar, siapakah yang mengajari kita membaca dan menulis. Ia sadar, mustahil ia minum air kelapa, jika orang tuanya dahulu tidak menanam pohon kelapa.

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr (59) : 10)

            Berbuat baiklah kepada bapak-bapak (sesepuh) kamu, niscaya anak-anakmu berbuat baik kepadamu (al Hadits).

            Untuk mempunyai keturunan yang shalih, kita harus menjadi anak yang shalih terhadap orang tua kita. Mustahil kita dikaruniai anak shalih jika kita tidak berhasil menjadi anak shalih untuk bapak ibu kita. Dan Bapak dan Ibu mertua kita. Jadi, keberhasilan dan keberkahan kehidupan kita berbanding lurus dengan hubungan yang baik dengan sesepuh kita.

            Rasulullah SAW bersabda : Jadilah kamu orang ‘alim, atau pelajar, atau senang mendengarkan kajian keilmuan, atau mencintai orang berilmu dan pelajar, janganlah kamu menjadi orang nomer lima, maka kamu kelak akan hancur (al Hadits).

            Itulah sebabnya para wali dahulu sebelum memasukkan santri secara formal, calon santri dijinakkan hatinya terlebih dahulu dengan riyadhoh, mujahadah (latihan batin), dengan menunjukkan pengabdian tanpa pamrih. Ada ungkapan pendidikan yang menarik : Qaddimil khidmah qablal ‘ilmi (dahulukan pengabdian sebelum berilmu). Ada proses spiritual yang dijalankan sebelum otaknya diisi dengan ilmu pengetahuan.
            Jika kita korelasikan cerita diatas dengan wajah pendidikan kita, sesungguhnya hati kita sedih. Dibalik bangunan pisik yang bagus dan mentereng sekolah kita, ternyata menyimpan prahara/tsunami agama, yaitu miskin adab, krisis moralitas. Bukankah akhir-akhir ini kita sering disuguhi berita tawuran antar pelajar ?. Murid merusak sepeda guru ?. Guru melakukan tindakan kekerasan kepada murid, dll. Apakah gurunya yang kurang tulus dan berdedikasi dalam mengajar ?. Apakah perlu tambahan materi/kurikulum “Ta’limul Muta’allim” (kode etik pelajaran), dan kitab-kitab akhlak karya ulama terdahulu.
            Santri zaman dahulu, kitab yang dipelajari sedikit sekali. Misalnya “Safinatun Najah” (perahu keselamatan), “Sullamut Taufiq” (tangga menuju taufiq), “Tafsirul Jalalain” (tafsir kebahasaan disusun Dua Imam Jalaluddin), ‘Uqudul Lajin’ (ikatan suami istri), ‘Tanbigul Ghafilin’(peringatan bagi yang lalai), ‘Ta’limul Muta’allim’. Tetapi, mereka mengulang-ngulang membacanya dengan niat mengamalkan, setelah lulus ilmu mereka barakah (menambah kebaikan). Bedakan dengan refernsi yang diemikian banyaknya yang dikaji santri sekarang, kemungkinan niat mencari ilmu supaya nanti dapat kerjaan yang layak dan dapat ijazah, ilmu hanya sebagai kekayaan kognitif. Maka kehidupannya kurang barakah.
            Kiyai dahulu, muridnya ribuan. Dan ketika dipanggil ustadz oleh santrinya tidak berkenan. Ustadz artinya guru besar. Sedangkan kami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ilmu-Nya. Karena keikhlasan tersebut berhasil mengantarkan para santrinya menjadi Presiden, Gubernur, Bupati, Mentri, dll. Sekarang, muridnya hanya puluhan minta dipanggil Kyai. Padahal, panggilan kehormatan itu tidak datang secara instan. Membutuhkan proses yang panjang. Kehormatan itu tidak didapatkan secara gratis (cuma-cuma).
            Pendidikan modern kata Mohammad Iqbal tidak mengajarkan air mata pada mata dan kesejukan di hati. Inilah prahara dunia pendidikan kontemporer. Tidak berdaya meluluskan pelajar yang salimul aqidah (aqidahnya steril dari syirik), shahihul ibadah (ibadahnya benar dan lurus), karimul akhlak (mulia akhlaknya), mujahid lidinihi (pejuang bagi agamanya), multazimun bil Imamah wal Jama’ah (memiliki keterikatan yang kuat dengan pola kepemimpinan imamah dan jama’ah), shalihun linafsihi wa nafi’un lighoirihi (sholih untuk dirinya dan memberikan manfaat untuk orang lain)
Fakta telah membuktikan, berbagai demontrasi, penyampaian aspirasi, sikap keberatan-keberatan yang dilakukan para pelajar dan mahasiswa belakangan ini berujung pada anarkhis/chaos. Sehingga ada kelakar si abang becak di Makasar, jangan sebentar-sebentar demo, kaya mahasiswa saja. Padahal, di dalam sejarah orang Sulawesi itu tegas dalam persoalan prinsip.
 Mereka adalah lulusan pendidikan kita. Calon pemimpin negeri ini. Mereka adalah manusia-manusia sipil berwatak militer, manusia yang sehat pisiknya, tetapi sakit ruhaninya. Manusia yang pandai akalnya  tetapi tidak cerdas ruhaninya. Merekalah manusia yang tebelah jiwanya (split personality). Bukankah fenomena diatas indicator kegagalan pendidikan kita ?. Pendidikan yang membuat orang cerdas, tetapi miskin adab.

Kilas Balik

            Mari kita menengok ke belakang berdirinya Negara RI. Kita tahu sila kedua Pancasila berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab. Berdasarkan falsafah Negara yang dikenal “sepenggal firdaus di bumi” (cuwilan suargo, Bhs Jwa) ini maka konsep kemanusiaan yang seharusnya ditonjolkan dan dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan kemanusiaan yang zhalim dan biadab. Tentu, pengaruh besar tokoh-tokoh Islam dalam merumuskan Pancasila sangat terlihat di sini. Kedua istilah diatas berasal dari khazanah Islam. Cobalah cari padanan kata adil dan beradab merujuk bahasa Sunda dan Jawa ?. Mustahil ditemukan.
            Masuknya “adil” dan “adab” dalam rumusan Pancasila merupakan indicator yang jelas kuatnya pengaruh pandangan Islam. Itu pula ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang muatannya khas Islam – seperti “hikmah”, “musyawarah”, “perwakilan’, - dll.
Dua kata adil dan beradab berasal dari kosa kata yang memiliki makna khusus (istidlalan), maka hanya dapat dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-alam Islam.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An Nahl (16) : 90).

Prof. DR. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa makna adil dalam ayat ini “ menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembaliukan hak kepada pemiliknya dan jangan berlaku zhalim, aniaya. Lawan dari adil adalah zhalim, yaitu mengingkari kebenaran karena ingin mencari keuntungan duniawi, mempertahankan perbuatan yang salah, karena ada kedekatan hubungan. Maka, selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula akan aman sentosa, timbul amanat dan saling mempercayai. Jadi adil tidak identic sama rata-sama rasa.
Banyak ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Anas ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Akrimu auladakum wa-ahsinu adabahum (muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka (HR. Ibnu Majah).
KH. Asy’ari membuka karya tulisnya “Adabul ‘Alim Wal Muta’allim” , dengan mengutip sabda Rasulullah SAW : Haqqul waladi ‘alaa waalidaihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu wa yuhsina adabahu (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).
Habib bin as-Syahid suatu ketika menasihati putranya : Ishhabil fuqohaa-a wa ta’allam minhum adabahum, fainna dzalika ahabbu ilayya min katsirin minal haditsi (Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang demikian itu lebih aku senangi daripada banyak hadits).
Ibnul Mubarak mengatakan : Nahnu ilaa qalilin minal adabi ahwaja minna ilaa katsirin minal ‘ilmi (Mempunyai adab sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan).
Dalam karya tulisnya, pendiri NU menuliskan kesimpulan : “Keterkaitan dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain  menjelaskan, Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah SWT tanpa keraguan sedikitpun. Apabila tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya tidak sah. Demikian pula keimanan, jika tidak dibarengi dengan pengamalan syariat dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengamalan syariat, jika dalam pengamalannya tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah SWT”.

Bertolak dari Al-Quran dan Al Hadits serta perkataan para ulama diatas dapat dipahami bahwa adab adalah derivasi dari kualitas keimanan dan mutu ketaatan dalam menjalankan hokum-hukum Allah SWT. Adab bukan netral agama. Atau hanya sekedar sopan santun dan unggah-ungguh (Bhs. Jawa). Tetapi adab menggabungkan amal hati, amal lisan, dan amal anggota tubuh.
Bahkan, individu manusia yang terbaik adalah yang beriman dan beramal shalih (khoirul bariyyah) dan komunitas yang paling baik  (khairu ummah) adalah yang selalu mengajak kepada al-Makruf (kebaikan yang dikenali hati) dan mencegah dari al-Munkar (kejelekan yang diingkari hati).

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk. (QS. Al Bayyinah (97) : 7)

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ 
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran (3) : 110).

Rasulullah SAW bersabda :
مَا نَحَلَ وَالِدٌ عَلَى وَالِدِهِ اَفْضَلُ مِنْ اَدَبٍ حَسَنٍ

Tiada suatu pemberian yang paling baik dari orang tuanya kepada anaknya melebihi dari adab yang baik  (al Hadits).

مَا مِنْ شَيْءٍ اَثْقَلُ فِي مِيْزاَنِ العَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الخُلُقِ

Tiada sesuatu yang paling berat pada timbangan  seorang hamba pada hari kiamat melebihi dari akhlak yang baik (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).

Kata sastra Arab : Bangsa akan eksis jika akhlak penduduknya bermutu, jika akhlaknya hilang, maka ucapkanlah takziyah (ucapan selamat tinggal untuk orang yang meninggal) kepada bangsa tersebut.

Pendahulu kita memandang adab bagaikan pengantin baru yang hanya dikaruniai putra semata wayang, kemudian diculik sang penculik. Maka ia akan mencarinya siang dan malam dengan harap-harap cemas, sampai ketemu, tanpa kenal lelah. Agar anaknya kembali ke pangkuannya dalam keadaan selamat.


Kudus, 14 Juni 2012


Al Faqir Ilallah Wal Ghani ‘Anil Makhluk
Sholih Hasyim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar