Keunikan
Dunia Pesantren
By : Ust. Sholih
Hasyim
Prolog
Barangkali masih segar dalam ingatan kita, Tafsir
Bahasa Jawa “Al
Ibriz” yang hingga kini
menjadi rujukan utama kaum muslimin, utamanya komunitas pesantren di Pulau Jawa.
Bahkan, hingga kini kitab tersebut di Semarang di bedah secara rutin, selama
bertahun-tahun, dan berkali-kali naik cetak. Siapakah penyusun kitab tafsir
tersebut ?. Beliau adalah KH. Bisyri Musthofa. Tokoh Internasional yang harum
namanya, sekalipun ia telah meninggalkan kita hampir satu abad. Apakah rahasia
keberhasilan beliau menjadi tokoh, dan kesuksesan beliau dalam mengantarkan
putra-putrinya menjadi tokoh Nasional. Diantara putranya yang kita kenal adalah
Gus Mus, KH. Kholil Bisyri (alm), dll.
Jika kita melihat silsilah beliau, sungguh beliau dilahirkan dari orang
biasa. Bapaknya seorang kusir di Rembang. Sebelum menitipkan putranya “Bisyri
kecil” kepada KH. Kholil, beliau mengatakan : Pak Kiyai, Saya sadar tidak memiliki ilmu yang cukup dan
mutu spiritual yang memadai, saya hanyalah seorang kusir. Saya hanya dapat mencukupi kebutuhan pisik anak saya. Untuk
urusan keilmuan dan spiritual, saya angkat tangan. Saya juga sadar, jika anak
saya tidak terangkat derajatnya, tentu akan tergerus kebahagiaan saya.
Sebagaimana
orang tua pada umumnya, izinkanlah saya bercita-cita besar mempunyai anak yang kelak
mikul dhuwur mendhem jero (mengangkat derajat orang tua dan mengubur dalam-dalam
kelemahannya) di kemudian hari. KH. Kholil terharu dan menjawab, Barakallohu
fikum wa ‘umrikum wa umurikum (semoga Allah SWT memberkahi umur dan segala urusan penjenengan). Saya berjanji
dihadapan Allah SWT, insya Allah separo hasil kerja saya akan saya tabung, dan di
darmabaktikan untuk kepentingan dan kemajuan
pondok panjenengan.
Sejak itu KH.
Kholil selalu ngopeni (merawat) titipan putra Bapak Musthofa. Ia
berusaha mengasah struktur pisik dan ruhaninya dan mentalnya. Ia khawatir salah
asah, asih dan asuh.Sehingga menjadi anak yang kurang ajar. Dan biasanya orang
tuanya akan terkena getahnya. Anaknya siapa dia itu ?. Maka, ia serahkan cara
mendidiknya kepada-Nya, dalam doa-doanya. Ia selalu berusaha menumbuhkan dalam
dirinya prinsip-prinsip keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar ulumuddin dan
ruhul jihad (spirit perjuangan), dan kultur pengabdian (khidmah). Ia memandang santri Bisyri adalah bagian dari
anak kandungnya. Ia tidak memperlakukannya berbeda dengan anaknya sendiri. Ia
sering dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting di lingkungan pondok.
Demikian pula
di lembaga pendidikan informal India apabila seorang guru menegur dengan
menjewer muridnya dan kabur pulang, maka bapak ibunya bersikeras mengantarkan
putranya untuk kembali ke lembaga pendidikan tersebut. Ia tidak memilih untuk
memprotes gurunya. Ia tunjukkan hubungan yang akrab, dekat dan erat dengan guru
anaknya. Terkadang, anak usia 10 tahun tidak shalat, boleh dipukul dengan
pukulan yang mendidik. Ia menyadari pendidikan bukan segala-galanya, tetapi
segala-galanya tidak berjalan tanpa pendidikan.
Selain itu, di
Singapura, kota yang paling maju di Asia ternyata sangat konsern dengan bidang pendidikan.
Sekalipun ia seorang perdana mentri dan pejabat tinggi Negara, dan secara
kebetulan antri di ATM bersama dengan seorang guru, maka ia mendahulukan guru.
Dan public telah memaklumiknya. Ia sadar, sekiranya guru terlambat masuk
sekolah, bagaimanakah nasib anak-anaknya. Mengejek guru bisa jadi meniru, benci
kepadanya suatu ketika menjadi bersanding (Alok-alok guru kebarus melok,
gething kebarus nyandhing).
Termasuk di
kota Sakura, setelah kota Hirosima dan Nagasaki
dibom oleh tentara sekutu, pemimpin yang terpilih bertekat untuk menata
kembali puing-puing sisa-siasa kehancuran negerinya dengan menggandeng para
guru. Ia membangun harapan masa depan bangsa dengan tidak melepaskan tangan
dingin guru. Sekarang, industri Jepang mengungguli Amerika Serikat. Dan
cerita-cerita lain yang tidak bisa disebutkan disini satu persatu.
Pengaruh Kontak
Batin Orang Tua Dan Guru
Bercermin dari kisah diatas, betapa
penting mengambil ‘ibrah (rahasia),
hikmah di balik keberhasilan santri tadi dalam meniti karir kehidupannya
setelah dewasa. Dan betapa besar pengaruh pendidikan yang diserap dari pola
transaksi spiritual (mu’asyarah
bil makruf) yang menyejukkan, yang pernah dibangun antara orang tuanya dan gurunya serta pengasuh anak-anaknya. Tidak
sekedar transaksi administratif, formal, yang kering dari makna kehidupan.
Alangkah ironisnya, karena merasa bisa membayar mukafaah/bisyarah kepada guru, kemudian bersikap tidak patut
kepada pahlawan tanpa tanda jasa itu.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا
وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا
هُمْ يَحْزَنُونَ . قَوْلٌ مَعْرُوفٌ
وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa
yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf [menolak dengan cara yang baik dan
memaafkan perilaku yang kurang sopan dari penerima] lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al Baqarah (2) : 262-263)
Hubungan
kedua orang tua tersebut berpijak/bertumpu pada nilai-nilai adab islami yang
saling memuliakan. Banyak kita temukan seorang santri yang cerdas di pondok,
setelah lulus menjadi orang biasa. Kiprah yang diperankan di tengah-tengah
masyarakat tidak menonjol. Sedangkan banyak pula santri yang belajarnya tidak
teratur, bahkan sering remidi, dia hanya mengabdikan diri secara all out
(mati-matian) mencarikan dana untuk kebutuhan pondok, patuh dan hormat kepada
guru, setelah pulang ke kampungnya hidup di tengah-tengah masyarakat berhasil
mendirikan pondok dan memiliki ilmu yang bermanfaat. Salah satu diantara
rahasia keberkahan hidupnya adalah ikatan batin orang tua dengan para gurunya.
Bapak
Musthofa berhasil menjadi wali murid yang luar biasa, wajar anak keturunannya
menjadi generasi yang hebat keilmuan dan ketakwaannya. Wali murid yang berani
berkurban, maka yang dilakukannya itu tidak sia-sia di hadapan Allah SWT.
Karena, ia menanam dengan bibit yang unggul, maka menuai buah yang matang. bukan
matang secara karbitan. Siapa yang menanam, pasti memanen, kata pepatah.
Ali bin Abi Thalib mengatakan : Ana
‘abdun liman ‘allamani harfan (saya siap menjadi budak kepada orang yang
mengajariku satu huruf).
Khalifah Islam IV tadi menyadari betapa pentingnya ilmu. Jika tidak mengerti huruf, maka tidak mengerti
kata, jika tidak mengerti kata, maka tidak mengerti kalimat. Jika ketiganya
tidak dimengerti secara baik, berarti tidak mendapatkan ilmu sedikitpun.
Padahal ilmu memiliki arti sesuatu yang jelas dan terang. Tanda kenabian
Adam, Dawud, Yusuf, Haidhir, dan Nabi yang lain dengan ilmu.
Jika
kehidupan ini tanpa disinari oleh ilmu, maka akan tetap dalam keadaan gelap.
Penghuninya gelap mata dan gelap pikiran dan hatinya. Bukankah perilaku yang
buruk berawal dari pikiran yang buruk pula. Karena tidak trampil
memililah-milah, memetakan, mengurai masalah dan memutuskan. Orang bodoh biasanya
menyelesaikan problem dengan adu otot, bukan adu otak. Orang bodoh suka
mengamuk dan mengkambinghitamkan orang lain. Maka kehadiran orang bodoh bagian
dari masalah, bukan bagian dari solusi.
Al Kayyisu man daana nafsahu wa ‘amila
lima ba’dal maut. (Orang yang cerdas senang intropeksi diri dan beramal untuk persiapan
menuju kebahagiaan dan kelamatan untuk hari esok (al Hadits).
Bahkan santri tadi selalu mendoakan
dalam sujud terakhirnya untuk kebaikan bapak gurunya setelah meninggal. Menjalin
silaturrahim dengan kawan-kawan bapak ibunya. Ia bisa membayangkan seandainya
anak, istrinya gurunya pada sakit dan dalam waktu yang lama ‘udzur syar’i
mengajar, siapakah yang mengajari kita membaca dan menulis. Ia sadar, mustahil
ia minum air kelapa, jika orang tuanya dahulu tidak menanam pohon kelapa.
وَالَّذِينَ جَاءُوا
مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ
آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa:
"Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah
beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr (59) : 10)
Berbuat baiklah kepada bapak-bapak
(sesepuh) kamu, niscaya anak-anakmu berbuat baik kepadamu (al Hadits).
Untuk mempunyai keturunan yang
shalih, kita harus menjadi anak yang shalih terhadap orang tua kita. Mustahil
kita dikaruniai anak shalih jika kita tidak berhasil menjadi anak shalih untuk
bapak ibu kita. Dan Bapak dan Ibu mertua kita. Jadi, keberhasilan dan
keberkahan kehidupan kita berbanding lurus dengan hubungan yang baik dengan
sesepuh kita.
Rasulullah SAW bersabda : Jadilah
kamu orang ‘alim, atau pelajar, atau senang mendengarkan kajian keilmuan, atau
mencintai orang berilmu dan pelajar, janganlah kamu menjadi orang nomer lima,
maka kamu kelak akan hancur (al Hadits).
Itulah sebabnya para wali dahulu
sebelum memasukkan santri secara formal, calon santri dijinakkan hatinya terlebih
dahulu dengan riyadhoh, mujahadah (latihan batin), dengan menunjukkan
pengabdian tanpa pamrih. Ada ungkapan pendidikan yang menarik : Qaddimil
khidmah qablal ‘ilmi (dahulukan pengabdian sebelum berilmu). Ada proses spiritual yang
dijalankan sebelum otaknya diisi dengan ilmu pengetahuan.
Jika kita korelasikan cerita diatas
dengan wajah pendidikan kita, sesungguhnya hati kita sedih. Dibalik bangunan
pisik yang bagus dan mentereng sekolah kita, ternyata menyimpan prahara/tsunami
agama, yaitu miskin adab, krisis moralitas. Bukankah akhir-akhir ini kita
sering disuguhi berita tawuran antar pelajar ?. Murid merusak sepeda guru ?.
Guru melakukan tindakan kekerasan kepada murid, dll. Apakah gurunya yang kurang
tulus dan berdedikasi dalam mengajar ?. Apakah perlu tambahan materi/kurikulum
“Ta’limul Muta’allim” (kode etik pelajaran), dan kitab-kitab akhlak karya ulama
terdahulu.
Santri zaman dahulu, kitab yang
dipelajari sedikit sekali. Misalnya “Safinatun Najah” (perahu keselamatan),
“Sullamut Taufiq” (tangga menuju taufiq), “Tafsirul Jalalain” (tafsir
kebahasaan disusun Dua Imam Jalaluddin), ‘Uqudul Lajin’ (ikatan suami istri),
‘Tanbigul Ghafilin’(peringatan bagi yang lalai), ‘Ta’limul Muta’allim’. Tetapi,
mereka mengulang-ngulang membacanya dengan niat mengamalkan, setelah lulus ilmu
mereka barakah (menambah kebaikan). Bedakan dengan refernsi yang diemikian
banyaknya yang dikaji santri sekarang, kemungkinan niat mencari ilmu supaya
nanti dapat kerjaan yang layak dan dapat ijazah, ilmu hanya sebagai kekayaan
kognitif. Maka kehidupannya kurang barakah.
Kiyai dahulu, muridnya ribuan. Dan
ketika dipanggil ustadz oleh santrinya tidak berkenan. Ustadz artinya guru
besar. Sedangkan kami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ilmu-Nya. Karena
keikhlasan tersebut berhasil mengantarkan para santrinya menjadi Presiden,
Gubernur, Bupati, Mentri, dll. Sekarang, muridnya hanya puluhan minta dipanggil
Kyai. Padahal, panggilan kehormatan itu tidak datang secara instan. Membutuhkan
proses yang panjang. Kehormatan itu tidak didapatkan secara gratis (cuma-cuma).
Pendidikan modern kata Mohammad
Iqbal tidak mengajarkan air mata pada mata dan kesejukan di hati. Inilah
prahara dunia pendidikan kontemporer. Tidak berdaya meluluskan pelajar yang salimul
aqidah (aqidahnya steril dari syirik), shahihul ibadah (ibadahnya
benar dan lurus), karimul akhlak (mulia
akhlaknya), mujahid lidinihi (pejuang
bagi agamanya), multazimun bil Imamah wal Jama’ah (memiliki
keterikatan yang kuat dengan pola kepemimpinan imamah dan jama’ah), shalihun
linafsihi wa nafi’un lighoirihi (sholih untuk
dirinya dan memberikan manfaat untuk orang lain)
Fakta telah
membuktikan, berbagai demontrasi, penyampaian aspirasi, sikap
keberatan-keberatan yang dilakukan para pelajar dan mahasiswa belakangan ini berujung
pada anarkhis/chaos. Sehingga ada kelakar si abang becak di Makasar, jangan
sebentar-sebentar demo, kaya mahasiswa saja. Padahal, di dalam sejarah orang
Sulawesi itu tegas dalam persoalan prinsip.
Mereka adalah lulusan pendidikan kita. Calon
pemimpin negeri ini. Mereka adalah manusia-manusia sipil berwatak militer,
manusia yang sehat pisiknya, tetapi sakit ruhaninya. Manusia yang pandai
akalnya tetapi tidak cerdas ruhaninya.
Merekalah manusia yang tebelah jiwanya (split personality). Bukankah
fenomena diatas indicator kegagalan pendidikan kita ?. Pendidikan yang membuat
orang cerdas, tetapi miskin adab.
Kilas Balik
Mari kita menengok ke belakang
berdirinya Negara RI. Kita tahu sila kedua Pancasila berbunyi : Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Berdasarkan falsafah Negara yang dikenal “sepenggal
firdaus di bumi” (cuwilan suargo, Bhs Jwa) ini maka konsep kemanusiaan yang
seharusnya ditonjolkan dan dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang
adil dan beradab, bukan kemanusiaan yang zhalim dan biadab. Tentu, pengaruh
besar tokoh-tokoh Islam dalam merumuskan Pancasila sangat terlihat di sini.
Kedua istilah diatas berasal dari khazanah Islam. Cobalah cari padanan kata
adil dan beradab merujuk bahasa Sunda dan Jawa ?. Mustahil ditemukan.
Masuknya “adil” dan “adab” dalam
rumusan Pancasila merupakan indicator yang jelas kuatnya pengaruh pandangan
Islam. Itu pula ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang
muatannya khas Islam – seperti “hikmah”, “musyawarah”, “perwakilan’, - dll.
Dua kata adil
dan beradab berasal dari kosa kata yang memiliki makna khusus (istidlalan),
maka hanya dapat dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-alam Islam.
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An
Nahl (16) : 90).
Prof. DR.
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa makna adil dalam ayat ini “ menimbang
yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar,
mengembaliukan hak kepada pemiliknya dan jangan berlaku zhalim, aniaya. Lawan
dari adil adalah zhalim, yaitu mengingkari kebenaran karena ingin mencari
keuntungan duniawi, mempertahankan perbuatan yang salah, karena ada kedekatan
hubungan. Maka, selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan
hidup manusia, maka selama itu pula akan aman sentosa, timbul amanat dan saling
mempercayai. Jadi adil tidak identic sama rata-sama rasa.
Banyak ulama
telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Anas ra. Meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda : Akrimu auladakum wa-ahsinu adabahum (muliakanlah
anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka (HR. Ibnu Majah).
KH. Asy’ari membuka
karya tulisnya “Adabul ‘Alim Wal Muta’allim” , dengan mengutip sabda Rasulullah
SAW : Haqqul waladi ‘alaa waalidaihi an-yuhsina
ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu wa yuhsina adabahu (Hak seorang
anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik,
dan adab yang baik).
Habib bin
as-Syahid suatu ketika menasihati putranya : Ishhabil fuqohaa-a wa ta’allam minhum
adabahum, fainna dzalika ahabbu ilayya min katsirin minal haditsi (Bergaullah
engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang
demikian itu lebih aku senangi daripada banyak hadits).
Ibnul Mubarak
mengatakan : Nahnu ilaa qalilin minal adabi ahwaja minna
ilaa katsirin minal ‘ilmi (Mempunyai adab sedikit lebih kami butuhkan daripada
banyak ilmu pengetahuan).
Dalam karya
tulisnya, pendiri NU menuliskan kesimpulan : “Keterkaitan dengan masalah
adab ini, sebagian ulama lain
menjelaskan, Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan
seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah SWT tanpa keraguan
sedikitpun. Apabila tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya tidak sah. Demikian
pula keimanan, jika tidak dibarengi dengan pengamalan syariat dengan baik, maka
sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan
pengamalan syariat, jika dalam pengamalannya tanpa dilandasi adab, maka pada
hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman serta
bertauhid kepada Allah SWT”.
Bertolak dari
Al-Quran dan Al Hadits serta perkataan para ulama diatas dapat dipahami bahwa
adab adalah derivasi dari kualitas keimanan dan mutu ketaatan dalam menjalankan
hokum-hukum Allah SWT. Adab bukan netral agama. Atau hanya sekedar sopan santun
dan unggah-ungguh (Bhs. Jawa). Tetapi adab menggabungkan amal hati, amal lisan,
dan amal anggota tubuh.
Bahkan,
individu manusia yang terbaik adalah yang beriman dan beramal shalih (khoirul
bariyyah) dan komunitas yang paling baik (khairu ummah) adalah yang selalu
mengajak kepada al-Makruf (kebaikan yang dikenali hati) dan mencegah dari al-Munkar
(kejelekan yang diingkari hati).
إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah
Sebaik-baik makhluk. (QS. Al Bayyinah (97) : 7)
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ
خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran
(3) : 110).
Rasulullah
SAW bersabda :
مَا نَحَلَ وَالِدٌ
عَلَى وَالِدِهِ اَفْضَلُ مِنْ اَدَبٍ حَسَنٍ
Tiada suatu
pemberian yang paling baik dari orang tuanya kepada anaknya melebihi dari adab
yang baik (al Hadits).
مَا مِنْ شَيْءٍ
اَثْقَلُ فِي مِيْزاَنِ العَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الخُلُقِ
Tiada sesuatu
yang paling berat pada timbangan seorang
hamba pada hari kiamat melebihi dari akhlak yang baik (HR. Abu Dawud dan
Turmudzi).
Kata sastra
Arab : Bangsa akan eksis jika akhlak penduduknya bermutu, jika akhlaknya
hilang, maka ucapkanlah takziyah (ucapan selamat tinggal untuk orang yang
meninggal) kepada bangsa tersebut.
Pendahulu
kita memandang adab bagaikan pengantin baru yang hanya dikaruniai putra semata
wayang, kemudian diculik sang penculik. Maka ia akan mencarinya siang dan malam
dengan harap-harap cemas, sampai ketemu, tanpa kenal lelah. Agar anaknya
kembali ke pangkuannya dalam keadaan selamat.
Kudus, 14 Juni 2012
Al Faqir Ilallah Wal
Ghani ‘Anil Makhluk
Sholih Hasyim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar