Empat
Amanah Pemuda Muslim Dalam Memikul Risalah Islam
By : Ust. Sholih Hasyim
Mukadimah
Imam Syafi’i berkata : Kalau seandainya Allah SWT tidak
menurunkan hujjah (argumentasi) kepada
makhluk-Nya selain surat ini saja (Surat Al-‘Ashr) sudah cukup bagi mereka.
Karena di dalamnya mengandung empat unsur fundamental dalam memikul amanah risalah Islam, yaitu : al-‘Ilmu
(memahami Islam), al-‘Amalu bihi (mengamalkan), ad-Dakwatu ilaihi
(mendakwakannya), ash-Shabru ‘alal adza fih (sabar dalam memikul amanah
tersebut).
Surat ini sudah memadai bagi seorang hamba dalam memotivasi
dirinya untuk berpegang teguh dengan agama Allah SWT, membangun keterikatan
dirinya dengan keimanan, amal shalih, dakwah ilallah, dan bersabar, teguh dan
tegar dalam menjalankan semua perkara tersebut. Bukan berarti surat ini
mencukupi seorang hamba dalam seluruh syariat.
Kata Syaikh Ibnu Baz ketika memberikan syarh surat al-‘Ashr
ini adalah bahwa orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat
dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran, mereka itulah
orang-orang yang beruntung sedangkan selain mereka adalah orang-orang yang
merugi.
Surat ini adalah hujjah tersendiri atas wajibnya saling
berwasiat, saling menasehati, iman dan sabar serta jujur dan bahwasanya tidak
ada jalan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan kecuali dengan
menyandang keempat sifat ini, yaitu : keimanan yang jujur kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya, beramal shalih, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling
berwasiat dengan kesabaran.
Amanah
Pertama :
Memahami Islam Dengan Benar (1)
Tafaqquh Fiddin
Pemuda Muslim wajib memahami Islam
dengan benar. Untuk mengerti agamanya ia harus memahaminya dengan pola
pendekatan yang benar. Sebagaimana pemahman yang mengawali perintisan Islam
ini, pendahulu kita yang shalih (salafus sholih). Banyak orang yang menzhalimi
Islam dengan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bukan termasuk ajaran Islam,
dan mengeluarkan darinya apa yang termasuk prinsip ajaran Islam.
Sepanjang zaman ini ada orang-orang
yang menyandarkan kepada Islam apa yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.
Telah banyak perkara aneh dan asing ke dalam Islam, padahal ia bukan dari
ajaran Islam. Ajaran-ajaran semacam itu telah merusak keindahan dan kemuliaan
Islam dan mengotori kejernihannya. Bid’ah-bid’ah tersebut terdapat di sana-sini
dan orang-orangpun menerima saja sebagai bagian dari ajaran Islam sesuatu yang
sama sekali tidak ada keterangan dan perkenan, restu dari Allah SWT. Yang
mereka namakan dengan terma ‘bid’ah hasanah’ dan dengan semboyan bahwa
“menambah kebaikan itu adalah baik”.
Rasulullah SAW telah menekankan
kepada umatnya agar tidak memberikan tambahan apa pun dalam agama Islam. Sebab
segala sesuatu yang menerima tambahan berarti pula menerima pengurangan (dapat
dikurangi), padahal sesuatu yang sempurna itu tidak menerima tambahan dan
pengurangan. Sedang Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam ini sehingga ia
tidak memerlukan tambahan dan pengurangan dari siapa pun.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari
ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah KU-sempurnakan nikmat-KU
atasmu serta telah KU-ridhai Islam sebagai agama bagimu (QS. Al Maidah (5) :
3).
Orang-orang yang menambah-nambah
ajaran agama seakan-akan mempersepsikan kemampuan Allah SWT, wawasan-Nya
sempit. Dan memandang Islam belum sempurna, sehingga ia ingin melengkapi dan
menyempurnakannya.
Oleh karena itu Rasulullah SAW
menekankan kepada umatnya melalui sabdanya :
Jauhkanlah dirimu dari perkara-perkara
baru yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya semua perkara baru
yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah
sesat (HR. Ahmad).
Barangsiapa yang mengada-adakan
dalam urusan (agama) kami ni, sesuatu yang tidak termasuk urusan agama, maka
hal itu tertolak (HR. Ahmad, Bukhari dan
Muslim).
Melakukan
bid’ah dalam agama adalah tertolak. Sebaliknya Islam mengharuskan umatnya
melakukan inovasi dan kreasi dalam urusan dunia dan mewajibkan ittiba’
(mengikuti perintah agama dan contoh dari Rasulullah SAW) dalam urusan aqidah,
ibadah, akhlak serta berhenti pada batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT (tidak boleh melanggarnya).
Kilas
Balik
Tetapi, ketika kondisi kaum
muslimin telah menjadi demikian buruk, terpuruk, tertindas, terbelakang,
tertinggal, memiliki kelayakan untuk dijajah (qabiliyyatun littakhalluf), maka
saat itu mereka melakukan perbuatan yang merupakan kebalikan dari ketentuan
diatas. Tidak kreatif, inovatif dan produktif dalam urusan dunia tetapi justru
mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama. Mereka jumud dalam urusan
kehidupan dunia sehingga kehidupan mereka seperti air keruh yang tidak enak
rasanya untuk diminum. Atau bagaikan buah yang matang secara karbitan. Dalam
urusan agama (aqidah, ibadah, dan akhlak) mereka suka menambai)h-nambah dan
melakukan bid’ah yang sama sekali Allah SWT tidak menurunkan keterangan untuk
itu.
Karena itu, kami menginginkan
agar para pemuda dan remaja muslim memahami dan mengerti Islam dengan pemahaman
yang benar, lurus dan sehat yang mampu mengembalikannya kepada kesucian,
keaslian dan kemurniannya dan kepada sumbernya yang orisinil dan otentik
sebagaimana awal kedatangannya.
Kalau pada masa-masa yang
lalu mereka menambah-nambah ajaran Islam dalam bidang aqidah, ibadah dan
mu’amalah, dll, maka pada saat ini mereka ingin mengurang-ngurangi ajaran Islam
dalam berbagai sektornya. Mereka menginginkan Islam tanpa jihad, Islam tanpa
hukum had, sehingga tidak ada lagi hukum rajam bagi pelaku zina muhshan
(bersuami) atau hukuman dera bagi pemabuk. Mereka menghendaki pemisahan agama
dari kehidupan social (sekularisasi). Mereka menghendaki kehidupan social
kemasyarakatan yang lepas dari control agama. Dan agama yang tidak ikut
mencampuri, mengurus, mengatur dan mengendalikan kebijakan pemerintah.
Itu semua merupakan
usaha-usaha untuk mengurangi dan mendeportasi ajaran-ajaran Islam dari
bingkainya, tetapi kami ingin menangkis (mengcounter) usaha-usaha itu dan
mengembalikan Islam secara utuh, tanpa ada pengurangan dan penambahan. Kami
ingin menempatkan segala sesuatu secara proporsional dengan memprioritaskan
mana yang harus diprioritaskan dan mengakhirkan mana yang harus diakhirkan,
sebab ajaran-ajaran Islam Islam itu bertingkat-tingkat.
Di dalamnya ada aqidah
(keyakinan yang tidak dicampuri keraguan) merupakan asas dan pondasi Islam.
Memeluk Islam tanpa didasari dengan iman yang kuat, bagaikan membangun istana
pasir. Ia mudah ambruk karena tidak kuat menanggung beban diatasnya. Ia akan lapuk
karena kehujanan dan akan lekang terkena panas. Dan ada kewajiban yang
berkedudukan sebagai rukun Islam. Islam itu dibangun atas lima perkara (al
Hadits).
Dan fardhu pun
bertingkat-tingkat pula. Shalat adalah tiang agama, merupakan pondasi bangunan
spiritual, dan zakat sebagai bangunan kehidupan social dll. Disamping itu ada
fardhu ‘ain (kewajiban yang bersifat person) dan ada fardhu kifayah (kewajiban
kolektif). Kemudian ada sunnah yang muakkadah (sangat dianjurkan) dan ada pula
yang sunnah mustahab yang disediakan pahala bagi yang melaksanakannya dan tidak
berdosa jika meninggalkannya. Disamping fardhu itu bertingkat-tingkat, demikian
halnya dengan larangan-larangan.
Disana ada penyimpangan
tauhid yang bernama syirik, dan syirik itu terbagi atas syirik besar dan syirik
kecil. Selain itu ada pula perbuatan-perbuatan haram yang diantaranya ada yang
besar dan ada pula yang kecil yang sudah barang tentu kedudukan/posisi antara
keduanya tidak sama. Dosa-dosa kecil dapat dihapuskan dengan shalat lima waktu sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut.
Shalat lima kali, Jumat
sampai Jumat berikutnya, dan puasa Ramadhan berikutnya dapat menghapuskan
dosa-dosa (kecil) yang ada di antara keduanya, apabila dosa-dosa besar itu
dijauhi (HR. Muslim).
Adapun dosa-dosa besar – dosa yang merugikan pihak
lain - hanya dapat dihapuskan dengan hukum sesuai dengan tingkat pelanggarannya
(had, pidana) – agar di akhirat kelak bersih dari dosa yang dilakukan - atau
taubatan nashuha (taubat yang serius, ikhlas) dan mengembalikan hak orang lain
yang dizhalimi (dirampasnya) – haqqul adami -.
Disamping ada yang wajib
(fardhu) tadi, ada pula yang sunnah, dan haram, ada pula hal-hal yang syubhat
yang diperselisihkan tentang halal dan haramnya oleh para ahli fiqh (hukum
Islam). Ada yang memandang halam dan ada yang mempersepsikan haram. Dan yang
syubhat itu juga tidak sama kedudukannya dengan hal-hal yang telah disepakati keharamannya dengan jelas.
Kemudian ada pula
perkara-perkara yang makruh (dibenci untuk dilakukan), dan yang makruh ini ada
yang makruh tahrim ada yang makruh tanzih. Makruh tahrim, ialah yang lebih
dekat kepada haram. Sedangkan makruh tanzih ialah yang lebih mendekati kepada
halal.
Oleh karena itu kita harus
melakukan dan menyikapi sesuatu sesuai dengan strata masing-masing. Aqidah atau
tauhid (keimanan) yang paling penting itu harus diprioritaskan (diutamakan),
kemudian kita susul dengan strata-strata berikutnya. Dosa-dosa besar harus kita
berantas semampu-mampu kita, demikian seterusnya.
Ketika mempelajari Islam,
kita harus mengetahui martabat-martabat ajaran Islam untuk diri kita sendiri
dan orang lain. Karena seorang dai/muballigh harus mengetahui
peringkat-peringkat ini dengan baik agar dia tidak menyia-nyiakan hidupnya
dalam perjuangan yang bersifat parsial. Sebab peperangan sekarang ini adalah
peperangan antara iman melawan kekufuran, dan ini yang didahulukan sebelum
aspek Islam yang lain.
Untuk mengerti Islam dengan
baik kita harus menimba Islam itu dari sumbernya yang jernih dan tidak akan
pernah kering. Yaitu kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Kembali kepada para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sebagai generasi yang
paling baik. Sebab, pemahaman mereka terhadap Islam adalah pemahaman terhadap
ruh (intisari) Islam, sikap dan perilaku mereka dalam ber-Islam adalah lebih
cermat (teliti) dan lebih kuat. Maka, kita harus antusias mempelajari Islam
dari sumber pertama sebelum dikotori dan dicemari oleh berbagai macam kotoran.
Tidak diragukan lagi bahwa di
sana ada hal-hal yang merusak kebudayaan Islam seperti cerita-cerita
Israiliyat, riwayat-riwayat dha’if (lemah), hadits-hadits palsu, ajaran tasawuf
yang sesat, sikap-sikap berlebih-lebihan, dan penyimpangan-penyimpangan
pemikiran, sebagai hasil pencampuradukan ajaran Islam dengan agama-agama,
aliran pemikiran, dan kebudayaan-kebudayaan bangsa lain.
Sebagai manusia, kita harus
mengetahui semua itu dengan catatan “Setiap orang itu boleh diambil dan ditolak
pendapatnya kecuali Rasulullah SAW yang ma’shum (terpelihara dari dosa) – yang
wajib diambil perkataannya –.Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh para
Muhaqqiq dari kalangan Ulama Islam seperti Imam Malik, Atha’, dan Ibnu Abbas
ra.
Pemuda Muslim harus
mempelajari dan memahami Islam dengan baik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita
menghendaki mahasiswa kedokteran dan teknologi meninggalkan kajian ilmiahnya
kemudian berkutat membaca kitab-kitab hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh dll.
Bukan itu yang kita tuntut dan yang kita ingingkan terhadap semua manusia,
tetapi harus ada spesialisasi.
Allah SWT berfirman :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا
كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya
(QS. At Taubah (9) : 122).
Tafaqquh fiddin (mendalami ajaran agama secara terperinci) disini
merupakan fardhu kifayah. Yakni memurnikan dan memperdalam ajaran Islam lalu
diajarkannya kepada orang lain. Sehingga dengan demikian ia menjadi rujukan
yang dapat memberikan fatwa, memecahkan persoalan-persoalan hukum (fiqh) dan
mengajar. Disamping itu ada ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim untuk
menjelaskan tujuan kehidupannya dan menerangi jalannya. Inilah yang dinamakan
ilmul hal (hubungan manusia dengan Allah SWT). Manusia harus memiliki ikatan
tertentu untuk memperdalam agamanya agar bisa meluruskan aqidah, ibadah dan
akhlaknya, dan mengatur kehidupannya. Mengetahui batas-batas dan hukum Allah
SWT. Yang diperintahkan dan yang dilarang, yang halal dan yang haram.
Maka, ia memiliki pondasi
yang kuat untuk memahami Islam dari sumber-sumbernya yang murni. Jauh dari
sikap berlebih-lebihan dan kecerobohan. Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang
dapat menjadikannya tersia-sia seperti sikap melampaui batas (ifroth) dan
mengurang-ngurangi (tafrith).
Kita berharap agar pemuda
Islam yang berkhidmah untuk kejayaan Islam itu unggul dalam pelajarannya dan
menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik). Sehingga orang-orang memandang
bahwa tugas agama itu tidak mengahambat pelajaran. Orang yang faqih dalam agama
islam tidak identik dengan orang yang lemah dalam bidang akademik. Belajar
agama, bukan mengurangi etos kerja. Kewajiban-kewajiban itu dilakukan secara
berimbang. Yang satu tidak melampaui yang lain.
Belajar itu memang merupakan
kewajiban. Semakin banyak bidang kehidupan yang dipelajari, semakin sadar
betapa banyak aspek yang belum diketahuinya. Unggul dalam pelajaran merupakan
kelaziman bagi para pemikul panji-panji dakwah Islam. Dan kita juga harus
mempelajari segala sesuatu yang menjadi kelaziman bagi kita, baik yang
berkaitan dengan waktu maupun aspek-aspek kehidupan yang lain.
Misalnya tentang hukum-hukum
shalat dan thaharah, maka seorang pemuda harus mempelajarinya agar dapat
melakukan shalat secara sah. Dan bila
hendak menunaikan ibadah haji misalnya, maka ia harus membaca atau mempelajari
risalah haji supaya mengetahui rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban agar hajinya
sah. Namun tidaklah dituntut bagi semua orang dan semua muslim untuk
mempelajari dan mendalami masalah haji, hanya saja bagi pemuda yang hendak
melaksanakan ibadah haji hendaklah ia mempelajari risalah yang membicarakan
hukum-hukm haji.
Dan ketika anda akan
melaksanakan umroh, maka bacalah risalah yang membicarakan hukum-hukum dan
aturan umroh. Katika anda menjadi seorang hartawan, maka pelajarilah dan
fahamilah hukum-hukum zakat. Bila anda seorang pedagang maka pelajarilah
hukum-hukum dagang dan segala sesuatu yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
jual-beli, pembelanjaan uang, saham, riba, dan lain-lainnya yang berhubungan
dengan perdagangan. Segala sesuatu yang anda hadapi dalam kehidupan sehari-hari
harus anda pelajari dan anda mengerti, seperti apa yang anda makan dan minum
(ini menentukan terkabulnya doa), apa yang anda pakai, apa yang anda dengarkan,
apa yang anda saksikan.
Pahami dan ketahuilah bahwa
semua itu agar anda tidak terperosok ke dalam lembah haram sedang anda tidak
mengetahuinya. Atau anda mengingkari orang lain yang melakukan sesuatu yang
halal karena anda tidak mengerti, atau menganggap yang makruh itu haram, atau
mempersepsikan dosa kecil sebagai dosa besar atau sebaliknya.
Pengetahuan seperti ini harus
dimiliki, karena Islam adalah agama yang didasarkan pada ilmu pengetahuan,
tidak seperti agama-agama lain yang mengajarkan “Yakinlah dan percayailah
sekalipun engkau buta (tidak tahu, tidak mengerti, tidak rasional) ! Atau :
Pejamkanlah kedua matamu, kemudian ikutilah aku ! Atau : Kebodohan atau
ketakwaan adalah sama saja”.
Tetapi Islam mengatakan :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى
بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah : Inilah jalan
(agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata (QS. Yusuf (12) : 108).
Jadi, setiap orang yang
mengikuti Rasulullah SAW adalah khalifahnya atau penerus perjuangannya yang
menyeru manusia kepada agama Allah berdasarkan hujjah yang nyata dan cahaya
yang terang benderang.
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ
كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
Maka, apakah orang yang
berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang
(syetan) menjadikan dia memandang baik perbuatan buruk itu dan mengikuti hawa
nafsunya (QS. Muhammad (47) : 14).
Maka Apakah orang-orang yang
dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya
dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka
yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan
yang nyata. (QS. An Nur (24)
: 22).
Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus [1], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya) [2], yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu
(QS. An Nur (24) : 35).
[1]
Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding
rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat
lampu, atau barang-barang lain.
[2]
Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik
di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga
pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.
Cahaya fitrah dan akal,
cahaya wahyu dan kenabian, cahaya diatas cahaya. Islam tidak menerima manusia
berjalan di dalam kegelapan, atau berpikir dengan menggunakan kepala orang
lain, atau berjalan di belakang dukun, tukang tenung, atau tukang sulap.
Kita ingin mengetahui dan
memahami Islam berdasarkan dalil dan keterangan yang jelas. Dan diantara hak
seorang muslim ialah menanyakan dalil/hujjah/argumentasi bagi segala sesuatu
yang meragukannya sehingga hatinya tenang dan batinnya puas. Ya, mengetahui
hukum dengan dalilnya, karena ilmu itu adalah mengetahui kebenaran berserta
argumentasi yang menguatkannya.
Kulit
Islam Telah Di Robek-Robek
Maka, wajib bagi generasi muda Islam
untuk memahami Islam, tidak hanya mengerti kulitnya saja. Sementara kulitnya
saja sekarang tampak tercabik-cabik. Apalagi dalam beberapa periode yang lalu,
kaum muslimin tidak memahami Islam secara mendalam. Sekolah-sekolah telah mencetak orang-orang yang tidak
memahami Islam. Pemuda yang studi ke sebuah lembaga pendidikan hingga tamat,
lebih banyak mengetahui sejarah Eropa daripada sejarah Islam. Mereka lebih
mengenal Napoleon daripada Rasulullah SAW. Lebih mengerti tentang revolusi
Perancis
Mereka tidak mengetahui
sejarah hidup Rasulullah SAW melainkan hanya sepintas lalu. Mereka tidak
mengerti sejarah para sahabat Rasulullah selain fitnah-fitnah dan peperangan
yang terjadi di antara mereka. Bahkan mereka tidak mengerti apa itu Risalah
Muhammad SAW, mana sisi agung kepribadian beliau, apa yang disumbangkan oleh
beliau kepada dunia, apa keunggulan dan karakteristik generasi mereka, dan
bagaimana pula perbedaannya dengan generasi-generasi sesudahnya. Mereka juga
tidak mengenal kebudayaan dan peradaban Islam yang sempurna yang bersifat Rabbaniyah,
insaniyah, akhlaqiyah, ‘lmiyah, ‘alamiyah, yang telah diciptakan oleh Islam
ketika orang-orang Barat baru dapat melihat cahaya dari lubang jarum yang
sangat kecil.
Kita wajib memahami Islam
dengan benar dan menolak syubhat-syubhat (salah paham terhadap kebenaran) atau
kesamaran yang dilontarkan orang lain terhadap Islam. Kita pahami Islam dengan
baik dimuali dari diri kita sendiri dan keluarga kita sehingga kita dapat
berjalan berdasarkan dalil dan hujjah yang nyata. Dapat menolak syubhat-syubhat
orang-orang tersesat yang senang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. Dan
kita pula bisa menolak kebohongan para pembuat kebatilan yang sengaja hendak
memasukkan ke dalam ajaran Islam ini apa yang bukan dari ajaran Islam.
Menisbatkan kepada Rasul Islam apa yang bukan berasal dari Sunnah Nabi, serta
menisbatkan Islam apa yang bukan dari umat Islam.
Kita perlu memiliki
pengetahuan yang cukup memadai tentang agama kita. Tuhan kita, Rasul kita,
syariat kita, quran kita, sejarah kita, umat kita, dan segala warisan (turats)
kita. Sehingga kita dapat menyatakan dan membuktikan bahwa yang benar itu benar
dan yang batil itu batil sekalipun orang-orang yang fasik tidak menyukainya.
Kita tidak cukup hanya dengan
bertahan semata, tetapi kita harus mengerti tentang kedalaman Islam untuk
menghadapi musuh-musuh Islam. Yaitu orang beriman yang mendengki kita, orang
kafir yang memenjarakan dan membunuh serta mengusir dari tempat tinggal kita,
orang munafik yang merusak shaf kita dari dalam, hawa nafsu yang menggoda kita,
syetan yang menjerumuskan kita. Kita harus ofensif (maju ke depan) bukan hanya
defensif (bertahan).
Kita tidak boleh hanya
sekedar mempertahankan diri dari segala syubhat, kebohongan dan kebatilan yang
dipopulerkan dan dipublikasikan oleh para pendusta dari kalangan orientalis,
missionaries, Marxis, atheis, dan orang-orang upahannya baik dari sini maupun
dari sana. Tetapi, kita wajib menyingkap bobrok-bobrok dan kepalsuan mereka.
Kita dituntut menjelaskan pula kemuliaan dan petunjuk yang kita miliki.
Dan tidaklah sama orang yang
buta dengan orang yang melihat. Dan
tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya (QS. Fathir (35) : 19-20).
Kita sudah sepatutnya
berdakwah dan menyeru manusia berdasarkan pemahaman yang baik. Dai memanggil
manusia dengan hujjah yang terang. Kita harus rajin membaca karena kita adalah
ummat qiraah, sejak ayat Al-Quran turun pertama kali. Dan perintah yang pertama
kali yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah kata perintah
membaca yang diulang dua kali dalam firman-Nya.
Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam[*], Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq (96) : 1-5)
[*]
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Umat Islam adalah umat yang
membaca, dan kitab sucinya bernama al-Quran (bacaan yang sempurna). Tetapi
sayang, umat ini sekarang tidak senang membaca. Kaum muslimin dahulu gemar
sekali membaca hingga menjelang ajalnya. Mereka berkata “ Kami takut kalau ada
hari yang berlalu tanpa kami gunakan untuk membaca”. Bahkan ada salah seorang
diantara mereka yang telah lanjut usia tetapi masih saja rajin mencari ilmu,
lalu datang seseorang seraya bertanya kepadanya, “Kapankah anda menuntut ilmu
?. Lalu ia menjawab, “Hingga aku meninggalkan dunia ini”. Dan diantara
kata-kata mutiara mereka ialah.
“Tuntutlah ilmu sejak dari
buaian hingga anda masuk ke liang kubur”
Sebagian mereka pernah
ditanya, Apakah baik bagi seorang tua untuk belajar ? Ia pun menjawab, Apabila
berbuat keliru itu adalah jelak, maka belajar itu adalah baik. Tetapi sayang,
kita telah diuji dengan zaman dimana orang sudah tidak lagi gemar membaca,
tidak lagi asyik membaca kitab suci al-Quran. Maka, kita harus memerangi
kebiasaan buruk dan kita biasakan umat ini ke arah kehidupan yang baru.
Hendaklah kita rajin membaca dan kita curahkan tenaga dan perhatian untuk membudayakan
gemar membaca. Jangan lagi kita curahkan tenaga dan kesempatan hanya untuk
sesuatu yang tidak ada faidahnya.
Orang-orang salaf kita pernah
mengatakan, Sesungguhnya ilmu itu tidak akan memberikan apa-apa kepadamu
sehingga kamu memberikan semua yan ada pada dirimu kepadanya. Semua tenagamu,
semua waktumu, dan segenap dirimu secara hissiyan (lahir) wa ma’nawiyyan
(batin).
Tetapi, apakah dengan membaca
ini sudah cukup ?. Cukuplah bagi kita mengerti dan memahami setelah belajar,
lantas segala sesuatunya dianggap sudah sempurna dan sudah selesai ?. Apakah
Islam hanya menghendaki kita menjadi orang yang pandai berfilsafat dan
berpengetahuan saja ?. Tidak, tidak cukup hanya itu. Tetapi harus diamalkan.
Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.
Amanah Kedua : Mengamalkan Islam (2)
Apakah cukup bagi seorang
muslim dalam menyikapi islam dengan hanya sekedar mengetahui, membaca,
mengkaji, hingga kepalanya penuh dengan ilmu, kemudian tidak berefek apa-apa
sama sekali setelah itu ?. Tidak, islam menghendaki pengetahuan dan pemahaman
yang menembus ke dalam hati dan menggerakkannya untuk beramal shalih. Ilmu yang
tidak membuahkan amal bagaikan pohon yang tidak berbuah. Ilmu yang bermanfaat,
adalah ilmu yang membela pemiliknya pada hari kiamat (hujjatun lahu). Sedangkan
ilmu yang tidak bermanfaat akan menggugat pemiliknya di Mahkamah Ilahi
(hujjatun ‘alaih).
Sesungguhnya di antara
hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama (orang-orang yang
berilmu) (QS. Fathir (34) : 28).
Jadi, yang dikehendaki oleh
Islam adalah ma’rifah (pengetahuan) yang menghasilkan khasyyatullah (takut
kepada Allah SWT). Rasulullah SAW pernah memohon perlindungan kepada Allah SWT
dari ‘ilmu yang tidak bermanfaat bagi pemiliknya sebagaimana yang beliau
ucapkan dalam doa beliau.
Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-MUdari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak
khusyu’ dari amal yang tidak diangkat ke langit (tidak diterima di sisi-MU),
dan doa yang tidak dikabulkan (HR. Muslim).
Umar bin Khathab pernah
memohon perlindungan kepada Allah dari orang munafik yang berilmu. Lalu ada
orang bertanya kepada beliau, Wahai Amirul Mukminin, apakah mungkin seseorang
itu munafik padahal berilmu ? Beliau menjawab, Benar yaitu orang ‘alim lisannya
tetapi jahil hatinya.
Dalam suatu atsar disebutkan
: Ilmu itu ada dua macam, yaitu ilmu yang ada pada lisan, dan ini merupakan
hujjah Allah terhadap anak Adam, dan yang kedua adalah ilmu yang ada di dalam
hati, dan itulah ilmu yang bermanfaat.
Allah membuat dua macam
perumpamaan yang teramat jelek bagi orang yang tidak mengamalkan ilmunya,
bagaikan himar (keledai) dan anjing.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya
Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya [tidak mengamalkan dan tidak
membenarkan kedatangan Muhammad SAW] adalah seperti keledai yang membawa
Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan
ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS.
Al Jumuah (62) : 5).
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang
telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab),
kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh
syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang
sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al Araf (7) :
175-176).
Demikianlah permisalan orang yang tidak
memanfaatkan ilmunya dengan sebaik-baiknya. Orang yang mempelajari shalat
lantas mengamalkannya secara konsisten, belajar thuma’ninah, khusyu’,
mempelajari yang halal dan yang haram, lantas menjauhi yang haram dan memilih
yang halal. Mempelajari perintah dan larangan Allah SWT, kemudian berusaha
menjalankan perintah dan menjauhi larangan, itulah ilmu yang bermanfaat (ilmun
nafi’).
Setelah mempelajari dan memahami agamanya dan
menjadi contoh atau menerapkan apa yang telah dipahaminya, lantas orang-orang
melihatnya. Mereka berkata, Lihatlah, betapa mulia, indah, luhur dan alangkah
bagusnya adab Islam, alangkah mulianya akhlak Islam. Mereka melihat
ajaran-ajaran Islam terlukiskan dalam perilaku dan perbuatan. Islam berjalan di
rumah, di kelas, di jalan raya, di kerumunan manusia, di gedung-gedung pencakar
langit, di perkantoran dll. Dengan cara itulah Islam yang agung ini tersebar ke
penjuru dunia, melintasi udara, darat dan laut.
Islam tidak
memiliki missionaris-missionaris yang khusus bekerja untuk menyebarkan agama
semata sebagaimana kita lihat pada agama-agama lain. Kebanyakan orang yang
menyebarkan Islam adalah manusia-manusia biasa, ada yang tukang kayu, ada pula
industriawan, bahkan Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedagang dari
Hadramaut, demikian pula pada negara-negara lain.
Di Korea Selatan Islam masuk melalui pergaulan dan
pengaruh interaksi social. Di sana terdapat tentara-tentara muslim Turki yang
bertugas pada masa terjadi Perang Korea. Pada waktu-waktu tertentu orang-orang
Korea melihat tentara-tentara Turki itu pergi bersuci dengan membasuh muka,
tangan dan kaki, lalu berbaris dengan rapid an khusyu’, tertib dan teratur,
lalu mereka terkesan olehnya seraya bertanya, Siapakah kalian ? Mereka menjawab,
Kami adalah orang-orang Islam. Mereka bertanya lagi, Apakah Islam itu ?. Lalu
diperkenalkan Islam kepada mereka sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh
pasukan Turki itu. Maka masuklah ke dalam pelukan Islam beribu-ribu orang Korea
karena adanya keteladann yang bagus itu.
Islam memperoleh kemenangan dan tersebar dengan
baik berkat adanya keteladanan yang baik (uswah hasanah). Orang-orang melihat
gambaran atau potret islam telah menyatu dengan pemeluknya, terlukis dalam
kecerdasan pikiran, kejernihan hati, jasad dan perilaku pemeluknya. Demikianlah
Islam tersebar lewat tangan dingin as sabiqunal awwalun (awal-awal umat Islam).
Adapun pada hari ini, dinding yang paling tebal
yang membatasi dunia dari Islam adalah kaum muslimin sendiri. Keindahan dan
kemuliaan Islam hanya tertulis dalam kitab-kitab, tetapi ketika orang melihat
Islam ini pada diri pemeluknya, mereka akan bertanya, Mengapa para pemeluknya
tidak menggunakannya ?. Mengapa kita tidak merasakan bekas-bekas ajaran Islam
dalam kehidupan kongkrit pemeluknya ?.
Islam menyerukan tolong-menolong, tetapi mengapa
banyak orang-orang Islam yang hidup terhina di negara-negara Islam ?. Islam
menyerukan kekuatan, tetapi mengapa kondisi kaum Muslimin begitu lemah ?. Islam
menyerukan untuk menuntut ilmu dan kemajuan, tetapi kita temukan negara-negara
Islam merupakan potret kebodohan dan keterbelakangan.
Suatu kali ada salah seorang Barat yang memeluk
Islam setelah membaca buku-buku, literature tentang Islam, di negara-negara
Islam, maka bertekadlah ia melaksanakan ibadah haji ke Baitullah pada musim
haji. Tetapi disana ia melihat orang-orang Islam yang berakhlak buruk dan tata
pergaulannya kasar serta hal-hal aneh padahal Allah telah berfirman tentang
haji.
(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[Syawal, zulkaidah dan Zulhijjah)],
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka
tidak boleh rafats[berbicara yang menimbulkan nafsu birahi], berbuat Fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan
berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya
Sebaik-baik bekal adalah takwa[memelihara diri dari perbuatan hina atau
minta-minta selama haji] dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal
(QS. Al Baqarah (2) : 179).
Jadi, apa yang dilihatnya berbeda secara
kontradiktif dengan apa yang dipelajarinya, lalu ia mengucapkan statemennya
yang cukup terkenal : Segala puji kepunyaan Allah yang telah memperkenalkan
Islam kepadaku sebelum aku mengenal orang Islam.
Oleh karena itu, kita wajib menjadi contoh praktis
bagi Islam. Menjadi organ kehidupan dalam tubuh umat Islam. Menjadi mushaf yang
berjalan dengan kaki. Mushaf yang telah ditafsirkan dengan perbuatan, akhlak
sehari-hari. Kita harus memfokuskan diri pada amal dan perilaku, yaitu amal
shalih yang lurus.
Islam menghendaki agar anda menunaikan segala
sesuatu yang diwajibkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, memelihara
hak-hak hamba dan Allah dan hak-hak diri Anda sendiri. Karena, sesungguhnya
tubuh anda memiliki hak atas diri anda, istri dan keluarga anda mempunyai hak
atas diri anda. Orang-orang yang mengunjungi anda mempunyai hak terhadap anda,
masyarakat anda mempunyai hak terhadap anda, dan Rabb anda juga mempunyai hak
atas diri anda. Maka berikanlah hak-hak itu kepada tiap-tiap pemiliknya, dan
dengan demikian akan terciptalah keseimbangan dalam kehidupan.
Perilaku yang lurus merupakan gambaran dari
pemahaman yang benar. Sebaliknya perilaku yang bengkok merupakan cerminan dari
pemahaman yang bengkok pula.
Amanah
Ketiga : Mendakwakan Islam (3)
Kewajiban ketiga adalah
ad-dakwatu ilallah (mengajak orang lain kepada agama Allah SWT). Tidaklah cukup
bila diri seorang muslim itu shalih. Islam menghendaki bahwa seorang itu tidak
cukup hanya sholih linafsihi (sholih untuk dirinya) saja, melainkan juga
menjadikan orang lain shalih seperti dirinya (sholih lighoirihi). Manusia
paling baik adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain (al-Hadits).
Oleh karena itu ia memikul tugas dakwah untuk memperbaiki orang lain. Baik
secara fardiyah maupun jamaah.
Umar bin Khathab pernah berdoa : Aku berlindung
kepada Allah SWT dari kuatnya orang jahat yang berkuasa dan lemahnya orang
shalih (al-Hadts).
Kondisi tersebut terjadi ketika seorang muslim
melalaikan tanggungjawab social. Yaitu, amar bil makruf dan nahi ‘anil mungkar.
Jika keadaan ini terus dibiarkan, masyarakat akan terjangkiti penyakit ruhani.
Perbuatan yang dikenali hati (makruf), kejujuran, kelembutan dll akan menjadi
diingkari, dan menjadi asing. Dan kemungkaran (perbuatan yang diingkari hati),
misalnya kebohongan dll menjadi dikenal.
Bumi ini akan dihuni oleh manusia yang
kotor hati nuraninya. Kepercayaan kepada Allah SWT dicemari dengan pemujaan
kepada berhala dan benda-benda alam. Ekonomi masyarakatnya telah dikotori
dengan penindasan yang kuat (the have) terhadap yang lemah (grass root),
kesewenang-wenangan yang kaya dan berada terhadap yang tidak beruntung, dan
keserakahan yang berharta kepada yang melarat. Kebudayaan mereka dinistai
dengan kerendahan akhlak penghinaan wanita, perbudakan sesama manusia dan
pemujaan hawa nafsu. Peradilan mereka adalah peradilan rimba – yang kuat selalu
benar, yang lemah selalu salah -. Hukum mereka bagaikan gegraji. Tumpul untuk
kalangan elitis (qiyadah) dan tajam untuk kaum dhu’afa (junud). Agama mereka
adalah agama yang kaya dengan upacara, serimonial, tetapi miskin aplikasi.
Maka dalam surat Al-‘Ashr mensyaratkan keselamatan
seseorang dari kerugian itu ialah dengan berpesan kepada orang lain untuk
menetapi kebenaran dan kesabaran.
Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al ‘Ashr (103)
: 1-3).
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang muslim tidak
cukup dengan modal iman dan amal shalih, tetapi harus berpesan atau menasehati
untuk komitmen terhadap kebenaran serta menerima pesan kebenaran itu. Saling
menasehati dan saling menerima secara timbal
balik. Inilah yang dinamakan “Tawashaa”. (saling berwasiat).
Karena itu kita wajib mempekerjakan diri kita
untuk kebenaran dan setelah itu kita teguhkan untuk selalu bersabar. Karena
itulah antara saling berpesan untuk menetapi kebenaran dan berpesan untuk
kesabaran dirangkaiakan. Sebagaimana yang dipesankan oleh Luqman al-Hakim
kepada anaknya (agar melaksanakan amr bil makruf dan nahi ‘anil mungkar),
katanya :
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman (31) :
17).
Jadi, berdakwah itu memerlukan kesabaran. Karena
perjalanan dakwah itu curam, licin dan mendaki. Bagaikan memanjat pohon pinang
yang berminyak. Mendidik manusia di waktu kecil bagaikan mengukir diatas air.
Mendidik manusia ketika dewasa laksana mengukir diatas batu. Perhatikan
karakter sosok pengukir. Ia tekun, teliti, tidak tergesa-gesa, berorientasi
pada kualitas dan bukan kuantitas, mengedepankan proses, bukan hasil. Dan yang
paling menonjol pada diri pengukir adalah sifat sabar.
Berdakwah merupakan amanah yang berat dan melarat,
mewarisi pekerjaan para nabi dan rasul, khususnya pada zaman kita ini. Karena
demikian banyak manusia yang berpaling, materialistis dan hedonis dan menjauh
dari agama.
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu
perkataan yang berat. (QS. Al-Muzzammil (73) : 5).
Maka, dakwah merupakan perkataan yang berat dan
tugas yang tidak sederhan dan tidak mudah. Kitalah yang mewarisi perkataan yang
berbobot itu. Kalau keadaan zaman kita seperti ini, maka tugas dan beban kita
semakin berat, karena berpalingnya manusia dari agama, tipisnya keyakinan
mereka, tercurahkannya perhatian (pikiran dan hati) mereka terhadap kehidupan
dunia, menjauhi dan membelakangi akhirat, banyaknya penghambat kebaikan, dan
banyaknya bujukan dan rayuan kepada kejelekan.
Jadi, para penyeru di jalan Allah SWT harus
mempersiapakn mental untuk menghadapi kondisi yang paling buruk. Akan dijumpai
hambatan dan rintangan yang menghadang di hadapan kita, hingga masuk ke rumah.
Boleh jadi bapak kita, sudara-saudara kita, teman-teman kita, orang-orang
terdekat kita, akan menghalangi kita seraya berkata, Apakah engkau ingin
ditangkap ?, Apakah engkau ingin tinggal di hotel prodeo seperti Nabi Yusuf ?.
Apakah engkau mencari mati ?. Apakah engkau akan dibegitukan dan dibeginikan ?.
Apakah engkau akan dicap (diberi stigma negatif), teroris, radikal dan islam
garis keras serta fundamental.
Kalau juru dakwah itu seorang perempuan, maka dia
akan ditertawakan dan direndahkan karena dia mengenakan pakaian sesuai dengan
tuntunan syariat. Pada tahun-tahun terdahulu kita melihat para pemudi memakai
jilbab di kepalanya, menutup leher dan dadanya, dan mengenakan pakaian yang
panjang. Tetapi sekarang kita lihat mereka melepaskan semua atribut keislaman
itu dan mereka mengenakan pakaian yang minim ala turis domestic, buka-bukaan.
Memakai pakaian tembus pandang. Juru dakwah wanita menderita tekanan yang berat
dari keluarganya, kerabatnya, ibunya, bibinya, anak-anak perempuan bibi dari
pihak ayah maupun dari jurusan ibu. Mereka mentertawakan dan melecehkan pakaian
syar’i yang menutup aurat untuk memelihara kehormatan dirinya itu.
Tentu, wanita yang beriman dengan keyakinan yang
kuat tidak akan menghiraukan semua itu, bahkan ia akan terus menunaikan hak-hak
Allah dan berjalan pada batas-batas-Nya. Tetapi, apabila imannya lemah, maka ia
akan mengikuti seruan-seruan yang merusak itu. Pada zaman kita ini banyak
sekali tipu daya dan unsure-unsur yang dapat memalingkan manusia dari
menjalankan syariat Allah SWT. Karena itu dalam salah satu haditsnya Rasulullah
SAW bersabda :
يَأْتي
على الناس زَمَانٌ الصَابرُ عَلَى ديْنه كاَ لْقاَبض عَلىَ الْجَمَر
Akan datang pada manusia suatu zaman yang pada
hari itu orang yang berpegang pada agamanya bagaikan memegang bara api (HR.
Tirmidzi).
Melakukan amal shalih pada hari-hari yang penuh
fitnah tersebut akan memperoleh pahala seperti lima puluh orang sahabat Nabi.
Ketika ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Seperti lima puluh
orang dari kami atau mereka” ?. Beliau menjawab : Dari kamu, karena kamu dalam
melakukan kebaikan masih mendapatkan banyak pendukung dan pembantu…….”
Karena itu sudah lazim kita membulatkan tekad
untuk berpegang teguh, komitmen (iltizam) terhadap nilai-nilai Islam dan
menyeru orang lain kepadanya sekalipun ada tantangan dan tekanan keluarga,
masyarakat, tekanan politik yang datang dari segala penjuru.
Kita wajib menghadapi semua itu dengan penuh
ketabahan dan keteguhan serta kekuatan, karena tidak ada dakwah yang tidak
menghadapi tantangan. Setiap dakwah ada yang memusuhi dan menentangnya.
Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi
itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia) [agar mendustakan Nabi]. Jikalau
Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah
mereka dan apa yang mereka ada-adakan (QS. Al Anam (6) : 112)
Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi
tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu
menjadi pemberi petunjuk dan penolong. (QS. Al Furqan (31).
Allah menciptakan Adam juga menciptakan iblis.
Menciptakan Ibrahim jiga menciptakan Namrud. Menciptakan Musa juga menciptakan
Fir’aun. Dia menciptakan Muhammad juga Abu Jahal, Abu Lahab. Pada setiap zaman
pasti ada Fir’aun, Namrud dan Abu Lahab dengan identitas nama dan alamat yang
berbeda-beda, tapi sikap dan perilakunya tidak berbeda. Jadi, setiap kegiatan
dakwah melahirkan simpatisan, dan musuh bebuyutan. Namun kita juga optimis,
dakwah melahirkan pendukung setia. Jika Nabi Isa didukung 12 murid-muridnya
yang dikenal dengan hawariyyun. Demikian pula Rasulullah SAW didukung oleh
pengikut setia dari kalangan wanita, istrinya Khadijah, dari kalangan atas, Abu
Bakar, dari kalangan grass root, Zaid bin Tsabit, dari kalangan pemuda, Ali bin
Abi Thalib.
Zaman sekarang ini seperti kata orang adalah zaman
ideology baru. Apabila Komunisme mempunyai pendukung setia dan pembela, Yahudi
memiliki pendukung dan pembela. Free Masonry memiliki pendukung dan pembela,
Nasrani memiliki missionaris-missionaris dan pendeta-pendeta, Bahaiyah dan
Qadaniyah juga memiliki pembela dan pendukung, maka apakah tidak ada yang
menjadi pembela dan pendukung Islam seperti zaman generasi awal ?.
Menurut tabiatnya, Islam adalah “din intisyar”
(agama yang memiliki karakter untuk berkembang, menyebar), dan “din dakwah”
(agama dakwah).
Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk
orang-orang yang menyerah diri?" (QS. Fushshilat (41) : 33).
Karena itulah kami katakana bahwa kewajiban pemuda
Islam pada masa sekarang ini ialah memantapkan dirinya untuk berdakwah ke jalan
Allah SWT. Sungguh tidak ada tugas yang lebih agung dan lebih mulia daripada
tugas dakwah Islam, karena dakwah ini merupakan tugas dakwah para Nabi. Dan
dengan melakukan dakwah ini akan menjadikannya berpegang teguh pada tali
kebenaran, tali yang kokoh dan kuat. Karena, jika seseorang itu melaksanakan
dakwah ini maka ia akan berusaha untuk menjadikan potret yang indah, sebagai
bukti apa yang diserukannya serta menjadikannya komitmen kepada ajaran Islam.
Amanat Keempat : Tolong-Menolong
Dan Saling Keterkaitan Dalam Memikul Risalah Islam (4)
Bagi para pemuda yang telah bertekad mempelajari
dan memahami Islam dengan benar, mengimaninya dengan mendalam, membenarkannya
tanpa dicampuri sedikitpun keraguan, kemudian saling nasihat-menasihati
dengannya, dan menyeru orang lain kepadanya, maka hendaklah mereka
melengkapinya dengan sikap tolong menolong diantara sesamanya dan memiliki rasa
saling keterkaitan.
Setiap Al-Quran menyebut orang beriman selalu
menggunakan redaksi jama’ (plural). Jadi beriman identik dengan kesiapannya
mewujudkan dan membangun ummah (komunitas). Diantara arti “ummah” adalah mereka
berkumpul karena ikatan yang prinsip, bukan sekedar bergerombol. Kualitas keimanan
seseorang diukur dari ketrampilannya dalam menjalin interaksi dengan orang
lain. Sesungguhnya intisari beragama adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal
mu’amalah), meminjam sosiolog muslim, Ibnu Khaldun.
Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi
rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana (QS. At Taubah (9)
: 21).
Karena tugas-tugas Islam tidak bisa dilakukan
hanya secara individu, melainkan harus dilaksanakan dengan beramal jama’i. Dan
yang dimaksud berjamaah adalah ditandai dengan adanya ikatan persaudaraan antara
sebagian dengan sebagian yang lain, yang saling mencintai karena Allah SWT,
bersama-sama mengadakan majelis karena Allah SWT, saling berkorban karena Allah
SWT.
Tanpa ini semua mustahil dilakukan dengan
kekuatan, kemampuan dan kecerdasan individual, tetapi dengan bergandengan
tangan. Sebab, tangan itu kalau hanya sebelah tidaklah mungkin bertepuk tangan.
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka
menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak
melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu [keharusan bersaudara yang
kokoh antara kaum muslimin], niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar. (QS. Al Anfal (8) : 73).
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu
dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan
mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah
SWT, maka Allah melupakan mereka (pula), sesungguhnya orang-orang munafik
itulah orang-orang yang fasik (QS. At Taubah (9) : 67).
Orang-orang kafir bekerja sama, saling melindungi
dan saling menolong antara sebagian terhadap sebagian yang lain. Oleh karena
itu, kita – kaum muslimin – harus saling mengayomi, melindungi, bekerja sama,
bersinergi, memadukan berbagai potensi dan kekuatan serta keunggulan
masing-masing, tolong menolong, dan bahu membahu, bantu membantu.
Sehingga, tidak ada lagi kenyataan himpunan
kekuatan di pihak kebatilan, sedang orang-orang yang berada di pihak kebenaran
bekerja dan berbuat sendiri-sendiri. Sebab, keadaan demikian sudah tentu akan
mengundang fitnah, kekacauan dan kerusakan yang besar di muka bumi ini.
Akhirul
Kalam (Kata Penutup)
Kita akan menghadapi dengan pandangan yang bersih
pada cermin yang jernih pula. Atau kita duduk dengan penuh keberanian, siap
siaga (i’dad). Kita sengaja melakukan pembedahan terhadap diri sendiri sebelum
dibedah oleh orang lain dengan pisau operasi bedah mereka. Jangan sampai
terjadi, orang lain lebih dahulu mengetahui kelemahan, kekurangan, sisi gelap
struktur kepribadian kita, daripada kita sendiri.
Beruntunglah bagi orang yang sibuk meneliti
cacatnya sendiri sebelum mengoreksi aib orang lain (al-Hadits). Evaluasi diri
(at-Taqwim wal mutaba’ah) adalah indicator terpenting kualitas ketakwaan
seseorang.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr (59) : 18).
Nah, demikianlah empat amanah dan kewajiban yang
mendesak untuk ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan dengan sepenuh kemampuan
dan kekuatan yang dimiliki oleh pemuda Islam hari ini. Kita harus pandai
mengambil pelajaran dari sejarah baik yang baru terjadi pada masa-masa dekat
maupun pada masa-masa yang telah jauh berlalu. Ia juga harus mengetahui
bagaimana ia berjalan dengan jalan Islam dan harakah Islam sehingga islam
memiliki kekuatan dan daulah (pusat penerapan nilai-nilai keislaman).
Sungguh, merupakan keprihatinan bagi kaum muslimin
jika tiap-tiap isme dan agama memiliki daulah sedang islam tidak memilikinya.
Bahkan hanya menjadi suplemen daulah lain. Kita menginginkan daulah yang
segala-galanya benar-benar mengacu kepada rujukan Islam, aqidah, ibadah,
akhlak, muamalah, dan minhajul hayah (system kehidupan). Kiranya, pasti datang
hari yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam surat ar-Rum ini.
Dalam
beberapa tahun lagi [*]. bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka
menang). dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang
yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendakiNya.
dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang. (sebagai) janji yang sebenarnya dari
Allah. Allah tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS. Ar-Rum (30) : 4-6).
[*]
Ialah antara tiga sampai sembilan tahun. waktu antara kekalahan bangsa Rumawi
(tahun 614-615) dengan kemenangannya (tahun 622 M.) bangsa Rumawi adalah
kira-kira tujuh tahun.
Jika kamu
(pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada
perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu
Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya
Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya
sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[*]. dan Allah tidak
menyukai orang-orang yang zalim (QS. Ali imran (3) : 140).
[*] Syuhada' di sini ialah
orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah.
sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi saksi atas manusia
sebagai tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah.
Empat Amanah Pemuda Islam, diadaptasi dari kitab :
Wajibu asy Syabab al-Muslimu al-Yaum oleh Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi.
Terbitan, Darush Shahwah, Kairo – Egypt, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar